Sejak bagian tengah Jembatan Ampera di Palembang yang diresmikan tahun 1965 itu tidak dinaik-turunkan lagi, praktis menara jembatan tak terawat. Selama hampir 40 tahun diabaikan. Sejak tahun 1973, kondisi menara Jembatan Ampera, baik di luar maupun di dalam, kotor.
Untuk mencapai puncak menara, tidaklah mudah. Saat Kompas berusaha menaiki puncak menara jembatan yang berada di sisi Seberang Ilir, Kamis (25/2) , bau pesing dan sampah bertebaran di kaki menara. Gelap dan pengap membayangi perjalanan mendaki lebih dari 230 anak tangga.
Penerangan hanya mengandalkan lampu hias yang tak membantu menerangi bagian dalam menara jembatan. Suasana yang demikian membuat kita harus berhati-hati.
Sampai di ruangan berdinding kaca di puncak Jembatan Ampera, kaca-kaca terlihat dalam kondisi pecah di beberapa bagian. Sampah sisa air minum kemasan dan kardus berserakan di mana-mana. Kursi tak terpakai pun bergelimpangan. Beberapa tanaman paku tumbuh subur di pinggir ruangan.
Di ruang atas itu ada keterangan tentang spesifikasi jembatan yang masih tertulis dalam bahasa Indonesia ejaan lama. Namun, tak semua bisa terbaca jelas. Sebagian huruf sudah kabur.
Untuk menuju atap menara jembatan, tidak ada tangga. kami harus bertumpu pada sebuah drum dan berpijak pada tali tambang untuk naik ke bagian yang berbentuk mirip plafon. Selanjutnya, menyusuri lubang dengan diameter sekitar 60 sentimeter untuk naik ke atas atap.
Segala penderitaan untuk mencapai puncak Jembatan Ampera terbayar setelah sampai di atap. Dari ketinggian itu, pemandangan Kota Palembang sangat indah. Suasana Palembang dan sekitarnya terlihat jelas, termasuk alur Sungai Musi.
Di Seberang Ilir, terlihat pabrik Pupuk Sriwidjaja, Pelabuhan Boom Baru, mal, hotel, Masjid Agung Palembang, dan Kantor Wali Kota Palembang, dengan menara leding yang khas. Di Seberang Ulu, terlihat kilang minyak Pertamina di Plaju dan Sungai Gerong, muara Sungai Komering, Stadion Gelora Sriwijaya, Pabrik Semen Baturaja, dan muara Sungai Ogan.
Menurut RM Amron, petugas perawat lampu hias Jembatan Ampera dari Dinas Penerangan Jalan Umum, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Pelambang, bagian tengah jembatan itu tak lagi dinaik-turunkan sejak tahun 1973. Saat itu, dengan volume kendaraan yang masih rendah, kemacetan di setiap sisi jembatan bisa mencapai dua kilometer saat bagian itu dinaik-turunkan.
”Jika sekarang dinaik-turunkan untuk memberi kesempatan kapal lewat, bisa dibayangkan kemacetan yang akan melanda Palembang,” katanya.
Jingok (melihat) Palembang dari puncak Jembatan Ampera sungguh menyenangkan. Menikmati pemandangan dari puncak jembatan itu bisa menjadi obyek wisata baru, tetapi perjalanan ke puncaknya tentu harus dibuat nyaman. Selain itu, perlu dilengkapi papan informasi mengenai sejarah jembatan tersebut.[kompas]