"Memang historically ada. Umumnya riset sudah mengarah ke sana, masih sedikit dan baru dimulai," ujar Deputi Kepala Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPK LIPI) Prof Dr Hery Harjono saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (30/10/2010).
Hery mencontohkan dalam sejarahnya, gempa Chili tahun 1960-an dengan skala 9 SR diikuti aktivitas vulkanik di Chili. Gempa Landers di California yang kemudian diikuti peningkatan aktivitas beberapa pusat vulkanik.
Kemudian gempa Liwa di Lampung pada 1932 diikuti meningkatnya aktivitas vulkanik di dataran Suoh (dataran di Lampung Barat yang memiliki potensi panas bumi dan semburan air panas). Hal ini berlanjut pada gempa Liwa tahun 1994, juga diikuti meningkatnya aktivitas vulkanik di Suoh.
Ada juga gempa Nias pada tahun 2005, beberapa waktu kemudian diikuti peningkatan aktivitas Gunung Talang.
"Ada beberapa orang yang mencoba (mengukur) secara statistik. Dari jaraknya, tidak harus kurang dari 700 (km) atau kurang dari 1.000 (Km). Gempa harus lebih 7 (SR) dan sebagainya. Kalau jaraknya kurang dari 700 km dari Mentawai kelihatannya ada kaitannya dengan Krakatau. Saya nggak punya data, biasanya paling terlihat ketika gempa," imbuh Hery.
Mencari kaitan antara gempa atau pergerakan lempeng tektonik dan peningkatan aktivitas vulkanik gunung berapi tak semudah membalik telapak tangan. Banyak faktornya. Salah satunya melihat siklus gunung berapi.
"Persoalannya, tiap gunung punya aktivitas atau siklusnya sendiri. Kita harus tahu siklusnya Krakatau, apakah aktivitasnya dipicu oleh gempa, atau memicu gempa. Seperti Gunung Pinatubo di Filipina yang mengeluarkan letupan dahsyat (1991). Gunungnya sudah tidur lama, tapi ada gempa Luzon 11 bulan sebelumnya (1990)," jelas pakar yang disertasinya tentang mikroseismik dan pengaruhnya bagi aktivitas gunung berapi di Selat Sunda ini.
Hery menjelaskan, ketika ada gempa tektonik di satu pusat gempa, maka gempa ini mengirimkan gelombang seismik ke segala arah di penjuru dunia. Jika jaraknya makin jauh, maka makin lemah gelombang yang diterimanya. Di satu sisi satu gunung berapi mempunyai reservoir magma.
"Ibaratkan saja reservoir magma itu kantong plastik, kemudian ada tekanan yang diberikan gelombang gempa. Kantong plastiknya ditekan-tekan terus, magma naik penuh, atau magma baru naik setengahnya dan lambat? Tergantung plastiknya, penuh atau tidak, kalau penuh cepat keluar," jelasnya.
Persoalannya, masih diperdebatkan apakah akibat tekanan gempa itu efeknya langsung atau cukup lama? Seketika seperti Krakatau atau makan waktu setahun seperti Gunung Pinatubo?
"Jadi diduga ada hubungan antara gempa tektonik dengan skala lebih besar dari 7 atau 6 (SR), timbul aktivitas gunung api," papar dia.
Pertanyaan serupa juga bisa ditujukan pada peningkatan status Gunung Sinabung dari tipe B (sedikitnya 1.600 tahun belum meletus) hingga meningkat menjadi tipe A (meletus pada Agustus 2010). Apakah aktivitas vulkanik itu dipicu oleh gempa Aceh-Nias pada 2004, gempa Padang pada 2009 dan gempa-gempa kecil di Sumatera?
Selain waktu dan besaran gempa, jarak antara pusat gempa dan gunung berapi juga masih menjadi perdebatan.
"Demikian juga dengan aktifnya 8 gunung berapi di Sumatera-Jawa, apakah karena gempa Mentawai itu, atau akibat gempa Yogya atau Tasikmalaya? Kenapa berpengaruh sampai Bromo dan Semeru. Gunung Ciremai yang dekat kenapa tak terpantau aktif?" jelas dia.
Dalam disertasi Hery, ditemukan di bawah Gunung Krakatau ada kantong-kantong magma pada kedalaman 3-9 km. Pada kedalaman lebih dari 20 km ada reservoir magma yang lebih besar yang bisa menyalurkan magma pada reservoir di atasnya.
"Jadi saya pikir apakah reservoir magma sudah penuh, hingga ditekan sedikit sudah muncul? Misalnya reservoirnya cuma setengah plastik, ketika ditekan nggak naik juga? Saya berharap ada yang meng-update riset saya itu," harap Hery yang meraih gelar doktor geofisika dari Universitas Paris XI Prancis ini.detik