Kecanduan Seks Fenomena Nyata?

Chicago – Heboh skandal seks atlet golf Tiger Woods kembali memicu isu tentang candu seks. Di tengah menjamurnya penyakit ini, apakah Anda termasuk salah satunya?

Sebuah penelitian terbaru di American Psychiatric Association's Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders menunjukkan, kecanduan seks makin banyak terjadi dan merambah ke berbagai lapisan masyarakat. Hal ini terbukti dari maraknya perselingkuhan atau skandal seks yang menimpa sejumlah selebiritis, kalangan yang mulai ketagihan berkegiatan seputar seks.

Sebut saja penyanyi jazz Eric Bennet yang ditinggalkan sang istri, yang juga aktris seksi Halle Berry. Kemudian mantan suami Angelina Jolie, aktor Billy Bob Thornton. Aktor gaek Michael Douglas juga kini tak berani macam-macam karena di depan sang istri, aktris Catherine Zeta-Jones, Ia telah menandatangani kontrak yang mewajibkannya membayar US$5 juta jika ketahuan selingkuh.

Sedangkan aktor ‘The X-Files’ David Duchovny pada 2008 silam sempat mengaku bahwa pernikahannya dengan aktris Tea Leoni goyah, karena dirinya kecanduan seks. Ironisnya pengakuan itu dibuat, ketika Duchovny baru saja merampungkan film bertajuk ‘Californication’, di mana ia memerankan seorang pecandu seks.

Tak hanya dari kalangan politik, PM Italia Silvio Berlusconi juga diduga mengidap kecanduan seksual karena kegemarannya akan perempuan yang berujung pada perceraian dengan sang istri, tahun lalu.

Dokter Ahli dari Universtitas Totonto, Ken Zucker mengatakan, kecanduan seks erat kaitannya dengan gangguan psikologis pengidapnya. Faktor penyebabnya pun beragam, seperti halnya pengidap gangguan mental yang sering berurusan dengan psikiater. “Kecanduan seks atau hypersexsuality ini merupakan kelainan psikologis,” ujar Zucker awal pekan ini.

Namun sayang, imbuhnya, belum banyak pengakuan mengenai hal-hal kontroversial yang berhubungan dengan seks. Padahal, setiap manusia, termasuk Tiger Woods, memiliki gejala klinis untuk masuk dalam kategori hiperseksualitas. “Setiap orang punya pendapat berbeda soal seks. Inilah yang membentuk batas garis isu naik-turun, tergantung dari mana Anda menarik garis,” lanjutnya.

Adapun Craig Fabrikant menentang diagnosis kelompok Zucker. Psikolog dari Universitas Medical Center Hackensack, New Jersey ini menilai, seks bukan suatu kecanduan yang memiliki dampak kimia langsung pada otak. “Diagnosis kecanduan seksual menggambarkannya sebagai suatu kebiasaan atau keharusan, mirip dengan perjudian tak terkendali,” ulasnya.

Menurut Fabrikant, studi kasus cenderung menitikberatkan pola perilaku yang mendeskripsikan sifat obsesif-kompulsif. Jika seseorang yang gemar berpetualang seks lantas dirawat layaknya pecandu obat-obatan, akan sangat sulit. Diagnosis kecanduan seks berarti memerlukan pula obat penenang untuk menangkal kecemasan pasien. “Padahal yang perlu ditelaah adalah teknik terapi guna menangani dorongan tersebut (seks),” tuturnya.

Banyak orang yang cenderung menganggap kecanduan seks tak benar-benar ada. Meski begitu, beberapa bertanya-tanya, apakah mereka salah satunya? Pakar seks AS Dr Peter Carnes dalam bukunya yang bertajuk ‘Out of the Shadows: Understanding Sexual Addiction’ menuturkan, ada beberapa gejala kecanduan seks yang perlu diperhatikan setiap orang.

Di antaranya, perasaan tak bisa mengendalikan perilaku seksual, mengetahui ada konsekuensi jika tetap meneruskan, ingin dan berusaha menghentikan tapi merasa tak bisa meski tahu konsekuensi tersebut. Kemudian merasa memerlukan seks terus menerus dalam intensitas yang sama, menghabiskan banyak waktu untuk merencanakan, melakukan, dan memulihkan diri dari seks, serta meninggalkan sejumlah hal penting dalam hidup Anda demi seks.

Ahli terapi seksual asal Inggris, Paula Hall, menyetujui ciri-ciri yang diungkapkan Carnes. Hall sendiri merawat 70 penderita kecanduan seks setiap tahunnya. Mayoritas pasiennya adalah pria heteroseksua. Tak banyak penderita perempuan atau dari kaum gay.

Hall mengatakan, yang perlu diingat bukan gairah seksual yang tinggi atau sebuah aktivitas seks tertentu. “Melainkan hubungan setiap individu dengan seks itu sendiri,” tegasnya.

Menurutnya, jika seks digunakan secara konsisten sebagai cara mengubah satu mood tertentu menjadi mekanisme utama untuk bertahan dari kesulitan hidup, ini baru masalah. Memang, selama tidak melanggar hukum serta tidak membahayakan kesehatan, seks tak menjadi masalah.

Bahkan, banyak orang yang mencari kenyaman dengan melakukan hubungan intim. “Masalah timbul ketika Anda menjadikannya satu-satunya sumber kenyamanan dan mulai menimbulkan konsekuensi yang merusak,” pungkasnya. [inilah]


 
Informasi-Informasi Saja Copyright © 2009 - 2013, Designed by Bie Themes