Perlu strategi tepat untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi di Indonesia. World class university tampaknya menjadi syarat utama bagi Indonesia jika ingin bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri. Ukuran yang sering dipakai untuk menentukan peringkat perguruan tinggi di dunia adalah survei yang dikenal dengan The Times Higher Education Supplement (THES). Setidaknya hampir 13.000 perguruan tinggi masuk dalam survei ini.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Fasli Jalal mengungkapkan, Indonesia mengalami peningkatan jumlah perguruan tinggi yang masuk 500 besar THES. Pada 2003, hanya tiga perguruan tinggi yang masuk 500 besar, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Indonesia (UI).
Pada 2006, masuk lagi Universitas Diponegoro (Undip) dan pada 2007 bertambah lagi dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Airlangga (Unair). "Dengan fakta itu, sebenarnya kualitas pendidikan tinggi kita mengalami kemajuan. Berdasarkan survei itu, berarti itu kan sudah ada perguruan tinggi kita yang disejajarkan dengan perguruan tinggi lain di dunia," katanya.
Fasli menambahkan, peningkatan kualitas pendidikan perguruan tinggi di Indonesia ini harus jadi perhatian. Menurut dia, pendidikan telah menjadi sumber devisa yang diandalkan bagi negara-negara Barat.
"Kalau menurut perhitungan kasar, mahasiswa kita (Indonesia) yang kuliah di luar negeri, tentu akan diminta membayar lebih mahal dari biasanya. Mungkin bisa 10 kali lebih mahal. Bayangkan, berapa devisa dari bidang ini. Belum lagi pemasukan yang menyertai bidang pendidikan," tukasnya.
Fasli mengungkapkan, pemerintah bukannya tidak memahami hal itu. Pemerintah mengalami keterbatasan sumber dana bagi peningkatan kualitas pendidikan perguruan tinggi. Untuk anggaran pendidikan, pemerintah masih menitikberatkan pada penuntasan program wajib belajar (wajar) 9 tahun. Untuk mengatasi itu, pemerintah, terang Fasli, membuat kebijakan untuk mengubah perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum. "Dengan badan hukum, perguruan tinggi punya otonomi dan independensi untuk mengelola aset dan keuangan mereka sendiri. Dengan begitu, mereka diminta untuk bisa lebih cepat dalam meningkatkan kualitas dan menjalin hubungan dengan perguruan tinggi luar negeri," paparnya.
Rektor UI Gumilar Rusliwa Somatri mengakui bahwa perubahan menjadi badan hukum memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk mengelola aset mereka masing-masing. Namun GRS-begitu rektor termuda UI ini biasa dipanggil- mengingatkan, kebebasan itu tidak akan efektif jika tidak ada strategi tepat menuju world class university. "Harus ada strategi tepat. Kalau tidak, citra bahwa pendidikan Barat selalu dinilai lebih baik dari kita akan sulit dihilangkan," katanya.
Gumilar menyebutkan, setidaknya ada tiga hal yang harus ada dalam strategi menuju world class university. Pertama, perguruan tinggi harus punya fokus riset atau pengembangan bidang-bidang tertentu yang akan jadi unggulan mereka. Sebaiknya, bidang-bidang ini punya kedekatan dengan kondisi alam, sosial, dan budaya. Hasil riset juga punya kegunaan langsung di masyarakat.
Kedua, mendorong tiga mesin utama, yaitu integrasi berbagai bidang terkait, pemanfaatan teknologi IT, dan penanaman nilai-nilai entrepreneurship. Ketiga mesin ini, tukas GRS, harus dijalankan secara sinergi dan kontinu.
Ketiga, ada pengembangan ventura-ventura atau sumber daya yang ada di perguruan tinggi. Pengembangan itu bisa dari segi akademik dengan pengembangan intellectual capital dan sumber daya lain yang bersifat ekonomis. "Strategi harus dipikirkan. Kalau tidak, sulit untuk kita untuk bersaing," pungkasnya.
Rektor Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD menyatakan, salah satu cara menuju world class university adalah bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi luar negeri yang kredibel. Kerja sama itu harus didasarkan pada prinsip saling menguntungkan dan bisa menjadi pemicu peningkatan kualitas pendidikan.
Langkah awal yang baik untuk memulai kerja sama itu melalui penelitian bersama. Untuk memulai kerja sama bidang ini, kedua perguruan tinggi itu harus punya minat yang sama. Dengan kesamaan minat ini, kedua pihak akan bersinergi dengan baik.
"Berdasarkan pengalaman kami, kerja sama yang dimulai dengan dua hal itu berjalan baik dan lancar. Kedua pihak saling memberikan kontribusi," paparnya. ITS sendiri lebih merasa punya minat yang sama seperti universitas asal Jerman atau Belanda.
Menurut Priyo, hal lain yang patut dicermati untuk memulai kerja sama itu adalah pemilihan perguruan tinggi luar negeri sebagai mitra kerja sama. Nama asing saja tidak bisa jadi jaminan alias tidak semua perguruan tinggi luar negeri itu berkualitas.
"Harus dilihat reputasi kampus itu, jangan sampai tahu-tahu peringkatnya di bawah kampus kita sendiri," tuturnya.okezone